_مِرَاةُالحَافِظَةُ_
_Salim,
Maula Abu Hudzaifah_
(Sebaik-baik
Pemikul Al-Qur’an)
Pada
suatu hari Rasululloh saw. berpesan kepada shahabatnya katanya , ”Ambillah
olehmu al-Qur’an itu dari empay orang, yaitu Abdullah bin mu’adz, Salim Maula
bin Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab, dan Mu’adz bin Jabal.”
Salim,
Maula Abu Hudzaifah. Pada mulanya ia hanya seorang budak belia, da kemudian Islam
memperbaiki kedudukannya, hingga diambil sebagai anak angkat oleh salah seorang
pemimpin Islam terkemuka, yang sebelum masuk Islam juga adalah seorang
bangsawan Quraisy dan salah seorang pemimpinnya.
Dan
tatkala Islam menghapus adat kebiasaan memungut anak angkat, Salim pun menjadi
saudar, teman sejawat serta maula(hamba yang telah dimerdekakan) bagi orang
yang memungutya sebagai anak tadi, yaitu shahabat vyang mulia bernama Abu
Hudzaifah bin “Uthbah. Dan berkat karunia dan ni’mat Alloh, Salim mecapai
kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan Muslimin, yang dipersiapkan baginya
oleh keutamaan jiwanya, serta perangai dan ketaqwaannya.
Shahabat
rasul yang mulia ini disebut “Salim maula Abu Hudzaifah”, ialah karena ia
seorang budak belia dan kemudian dibebaskan, dan ia beriman kepada Alloh dan
Rasul-Nya tanpa menunggu lam dan mengambil tempatnya di antara orang-orang Islam
yang pertama.
Pada
suatu hari turunlah ayat yang membatalkan kebiasaan mengambil anak angkat. Dan
setiap anak angkat pun kembali menyandang nama bapaknya yang sesungguhnya,
yakni yang telah menyebabkan lahirnya dan mengasuhnya. Mungkin ketika menghapus
kebiasaan memungut member nama anak angkat dengan nama orang yang
mengangkatnya, Islam hanya hendak mengatakan kepada Kaum Muslimin, “Janganlah
kalian mencari hubungan kekeluargaan dan silaturrahim dengan orang-orang diluar
Islam, sehingga persaudaraan kalian lebih kuat dengan sesam Islam sendiri dan
se’aqidah yang menjadikan kalian bersaudara”
Hal
ini telah difahami sebaik-baiknya oleh Kaum Muslimin angkatan pertama. Tak ada
suatu pun yang lebih mereka cintai setelah Allih dan Rasul-Nya, dari saudar-saudara
mereka se-Tuhan Alloh dan se-Agama Islam. Dan inilah yang kita saksikan yang
telah tejadi kepada Abu Hudzaifah dengan budak belia bernama Salim. Sampai
akhir hayat mereka, kedua orang itu telah bersaudarakandung, ketika menemui
ajal, mereka meninggal bersama-sama, nyawa melayang bersama, dan tubuh yang
satu terbaring disamping tubuh yang lain.
Itulah dia keistimewaan luar biasa dari Islam, bahkan itulah salah satu
kebesaran dan keutamaannya.
Riwayat hidup Salim aeperti riwayat hidup Bilal, riwayat hidup
sepuluh shahabat Nabi ahli ibadah dan riwayat hidup para shahabat lainnya yang
sebelum memasuki Islam sebagai budak belia yang hina. Diangkat oleh Islam
dengan mendapat kesempurnaan petunjuk, sehingga ia menjadi penuntut umat ke
jalan yang benar, menjadi tokoh penentang kedholiman pula ia adalah kesatria
dimedan perang.
Salim memiliki kelebihan-kelebihan yang menonjol yaitu mengemukakan
apa yang dianggap benar secara terus terang. Ia tidak pernah menutup mulut
terhadap suatu kalimat yang seharusnya diucapkannya, dan ia tak hendak
menghianati hidupnya dengan berdiam diri terhadap kesalahan yang menekan
jiwanya.
Setelah kota Mekah dibebaskan oleh Kaum Muslimin, Rasululoh
mengirimkan beberapa rombongan ke kampung-kampung dan suku-suku Arab sekeliling
Mekah, dan menyampaikan kepada penduduknya bahwa Rasululloh saw. sengaja mengirim
mereka itu untuk berda’wah bukan untuk berperang. Dan sebagai pemimpin dari
salah satu pasukan Khalid bin Walid.
Ketika Khalid sampai di tempat yang dituju, terjadilah suatu peristiwa
yang menyebabkan terpaksa menggunakan senjata dan menumpahkan darah. Sewaktu
peristiwa ini sampai kepada Nabi saw., beliau memohon ampun kepada Alloh dengan
waktu yang lama, beliau sambil berkata “Ya Alloh, aku berlepas diri kepada-Mu
dari apa yang dilakukan oleh Khalid.”
Juga
peristiwa tersebut tidak dapat dilupakan oleh Umar, ia pun mengambil perhatian
khusus kepada kepribadian Khalid, dan berkata,
“Sesungguhnya pedang Khalid terlalu tajam.”
“Sesungguhnya pedang Khalid terlalu tajam.”
Dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Khalid ini, Salim maula Abu
Hudzaifah ikut serta bersama shahabat-shahabat lainnya. Dan demi melihat
tindakan Khalid, Salim menegurnya dengan sengit dan menjelaskan kesalahan-kesalahan
yang telah dilakukannya. Sementara Khalid, pahlawan dimasa jahiliyah dan di
zaman Islam itu mula-mula diam dan mendengarkan apa yang dikemukakan temannya
itu, tapi kemudian dia membela dirinya, dan akhirnya meningkat menjadi
perdebatan yang sengit. Tetapi Salim tetap berpegang kepada pendiriannya dan
mengemukakan pendapatnya tanpa takut atau bermanis muka.
Ketika itu ia memandang Khalid sebagai seorang bangsawan Mekah, dan
ia pun tidak merendah diri karena dahulu ia seorang budak belia, dan Islam
telah menyamakan mereka. Begitu pula ia memandang Khalid sebagai serikat dan
sekutunya dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya.
Dan ketika Nabi mendengar apa yang telah dilakukan Khalid bin
Walid, beliau bertanya,katanya,
“Adakah yang menyanggahnya?”
“Adakah yang menyanggahnya?”
Alangkah agungnya pertanyaan itu, dan alangkah mengharukan.
Dan amarah Rasululloh saw. menjadi surut ketika ada diantara mereka
yang menjawab,
“Ada, Salim menegur dan menyanggahnya!”
“Ada, Salim menegur dan menyanggahnya!”
Dalam hidupnya Salim selalu mendampingi Rasululloh saw. dan
orang-orang yang beriman. Dan dia tidak pernah ketinggalan untuk ikut serta
berperang bersama dengan Rasululloh saw., dan tak kehilangan gairah dalam suatu
ibadah.
Saat itu berpulanglah Rasululloh saw. ke rahmatulloh. Dan khilafat
Abu Bakar r.a. menghadapi persekongkolan jahat dari orang-orang. Dan tibalah
saatnya pertempuran Yamamah. Suatu peperangan sengit, yang merupakan ujian
terberat bagi umat Islam pada saat itu.
Maka berangkatlah Kaum Muslimin untuk berjuang. Tidak ketinggalan
Salim bersama Abu Hudzaifah saudara seagama. Di awal peperangan, Kaum Muslimin
tidak bermaksud untuk menyerang, tetapi setiap Mu’min telah merasa bahwa peperangan
ini adalah peperangan yang menentukan, sehingga segala akibatnya menjadi
tanggung jawab bersama.
Mereka dikumpulkan sekali lagi oleh Khalid bin Walid, yang kembali
menyusun barisan dengan cara dan strategi yang mengagumkan. Kedua saudara itu
pun menerjunkan diri kedalam kancah yang sedang bergejolak.
Abu Huidzaifah berseru meneriakkan,
“Hai, pengikut-pengikut Al-Qur’an! Hiasilah Al-Qur’an dengan amal-amal kalian!”
“Hai, pengikut-pengikut Al-Qur’an! Hiasilah Al-Qur’an dengan amal-amal kalian!”
Dan bagai angin puyuh, pedangnya berkelibatan dan menghujamkan
tusukan-tusukan kepada anak buah Musailamah, sementara Salim berseru pula,
katanya,
“Amat buruk nasibku, sebagai pemikul tanggung jawab Al-Qur’an, apabila benteng Kaum Muslimin bobol karena kelalaianku!.”
“Amat buruk nasibku, sebagai pemikul tanggung jawab Al-Qur’an, apabila benteng Kaum Muslimin bobol karena kelalaianku!.”
“Tidak mungkin demikian, wahai Salim, bahkan engkau adalah sebaik-baik
pemikul Al-Qur’an.” Ujar Abu Hudzaifah. Pedangnya bagai menari-nari menebas
dan menusuk pundak orang-orang murtad, yang bangkit berontak hendak
mengembalikan jahiliyah Quraisy dan memadamkan cahaya Islam.
Tiba-tiba salah satu pedang orang-orang murtad itu menebas
tangannya hingga putus, tangan yang dipergunakan untuk memanggul panji Muhajirin,
setelah gugur pemanggulnya yang pertama, ialah Zaid bin Khattab. Tatkala tangan
kanannya itu bunting dan panji itu jatuh segeralah dipungutnya dengan tangan
kirinya lalu terus-menerus diacungkannya tinggi-tinggi sambil mengumandangkan
ayat Al-Qur’an, yang artinya:
“Betapa banyaknya Nabi yang bersamanya ikut bertempur pendukung
Agama Alloh yang tidak sedikit jumlahnya. Mereka tidak patah semangat disebabkan
cobaan yang menimpa mereka tidak melemah apalagi menyerah kalah, sedang Alloh
mengasihi orang-orang yang tabah.”
Sekelompok orang-orang murtad mengepung dan menyerbunya, hingga
pahlawan itu pun rubuhlah, tetapi ruhnya belum keluar dari tubuhnya yang suci,
sampai pertempuran itu berakhir denagn terbunuhnya Musailamah si Pembohong dan
menyerah kalahnya tentara murtad serta menangnya tentara muslim.
Dan ketika Kaum Muslimin mancari-cari korban dan para syuhada’
mereka, mereka menemukan Salim dalam keadaan sekaratul maut. Sempat pula ia
bertanya kepada mereka,
“Bagaiman nasib Abu Hudzaifah?”
“Ia telah menemui syahidnya”, ujar mereka.
“Baringkan aku disampingnya”, kata Salim.
“Ini dia disampingmu, wahai Salim, ia telah menemui syahidnya di tempat ini.”
“Bagaiman nasib Abu Hudzaifah?”
“Ia telah menemui syahidnya”, ujar mereka.
“Baringkan aku disampingnya”, kata Salim.
“Ini dia disampingmu, wahai Salim, ia telah menemui syahidnya di tempat ini.”
Mendengar jawaban itu tersungginglah senyumnya yang akhir. Dan
setelah itu ia tidak berbicara lagi, mereka berdua telah bertemu, dan bersama
seperti apa yang mereka berdua inginkan.
Mereka masuk Islam bersama, dan hidup bersama, dan kemudian mati
syahid bersama pula.
Persamaan nasib yang amat mengharukan dan suatu takdir yang amat
indah.
Maka pegilah mereka menemui Tuhannya, seorang Mu’min meninggalkan
nama, mengenai dirinya sewaktu telah tiada lagi, Umar bin Khattab pernah
berkata,
“Seandainya Salim masih hidup, pastilah ia menjadi penggantiku nanati.”
“Seandainya Salim masih hidup, pastilah ia menjadi penggantiku nanati.”
Ikhwan dan Akhwat, itulah sederet cerita tentang suatu persaudaraan
yang sangatlah indah. Persaudaraan yang dihiasi dengan Islam, rasa kasih
saying, dan rasa saling memiliki yang begitu erat. Dan bahkan sampai akhir
hayat mereka, mereka tetap saling menyayangi dan kedekatan mereka bagaikan jari
tengah dengan jari telunjuk yang tak pernah bias dipisahkan.
Dari kisah ini kita bisa mendapat banyak hikmah yang kita
ambil,yaitu sebagai umat Islam kita harus saling menyayangi dan selalu menjaga
tali silaturrahim antara mu’min satu dengan yang lainnya.
_Semoga Bermanfaat_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar