Minggu, 01 Februari 2015

Salim, Maula Abu Hudzaifah


_مِرَاةُالحَافِظَةُ_

_Salim, Maula Abu Hudzaifah_
(Sebaik-baik Pemikul Al-Qur’an)
Pada suatu hari Rasululloh saw. berpesan kepada shahabatnya katanya , ”Ambillah olehmu al-Qur’an itu dari empay orang, yaitu Abdullah bin mu’adz, Salim Maula bin Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab, dan Mu’adz bin Jabal.”
Salim, Maula Abu Hudzaifah. Pada mulanya ia hanya seorang budak belia, da kemudian Islam memperbaiki kedudukannya, hingga diambil sebagai anak angkat oleh salah seorang pemimpin Islam terkemuka, yang sebelum masuk Islam juga adalah seorang bangsawan Quraisy dan salah seorang pemimpinnya.
Dan tatkala Islam menghapus adat kebiasaan memungut anak angkat, Salim pun menjadi saudar, teman sejawat serta maula(hamba yang telah dimerdekakan) bagi orang yang memungutya sebagai anak tadi, yaitu shahabat vyang mulia bernama Abu Hudzaifah bin “Uthbah. Dan berkat karunia dan ni’mat Alloh, Salim mecapai kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan Muslimin, yang dipersiapkan baginya oleh keutamaan jiwanya, serta perangai dan ketaqwaannya.

Shahabat rasul yang mulia ini disebut “Salim maula Abu Hudzaifah”, ialah karena ia seorang budak belia dan kemudian dibebaskan, dan ia beriman kepada Alloh dan Rasul-Nya tanpa menunggu lam dan mengambil tempatnya di antara orang-orang Islam yang pertama.
Pada suatu hari turunlah ayat yang membatalkan kebiasaan mengambil anak angkat. Dan setiap anak angkat pun kembali menyandang nama bapaknya yang sesungguhnya, yakni yang telah menyebabkan lahirnya dan mengasuhnya. Mungkin ketika menghapus kebiasaan memungut member nama anak angkat dengan nama orang yang mengangkatnya, Islam hanya hendak mengatakan kepada Kaum Muslimin, “Janganlah kalian mencari hubungan kekeluargaan dan silaturrahim dengan orang-orang diluar Islam, sehingga persaudaraan kalian lebih kuat dengan sesam Islam sendiri dan se’aqidah yang menjadikan kalian bersaudara”
Hal ini telah difahami sebaik-baiknya oleh Kaum Muslimin angkatan pertama. Tak ada suatu pun yang lebih mereka cintai setelah Allih dan Rasul-Nya, dari saudar-saudara mereka se-Tuhan Alloh dan se-Agama Islam. Dan inilah yang kita saksikan yang telah tejadi kepada Abu Hudzaifah dengan budak belia bernama Salim. Sampai akhir hayat mereka, kedua orang itu telah bersaudarakandung, ketika menemui ajal, mereka meninggal bersama-sama, nyawa melayang bersama, dan tubuh yang satu terbaring disamping tubuh yang lain.
Itulah dia keistimewaan luar biasa dari Islam, bahkan itulah salah satu kebesaran dan keutamaannya.
Riwayat hidup Salim aeperti riwayat hidup Bilal, riwayat hidup sepuluh shahabat Nabi ahli ibadah dan riwayat hidup para shahabat lainnya yang sebelum memasuki Islam sebagai budak belia yang hina. Diangkat oleh Islam dengan mendapat kesempurnaan petunjuk, sehingga ia menjadi penuntut umat ke jalan yang benar, menjadi tokoh penentang kedholiman pula ia adalah kesatria dimedan perang.
Salim memiliki kelebihan-kelebihan yang menonjol yaitu mengemukakan apa yang dianggap benar secara terus terang. Ia tidak pernah menutup mulut terhadap suatu kalimat yang seharusnya diucapkannya, dan ia tak hendak menghianati hidupnya dengan berdiam diri terhadap kesalahan yang menekan jiwanya.
Setelah kota Mekah dibebaskan oleh Kaum Muslimin, Rasululoh mengirimkan beberapa rombongan ke kampung-kampung dan suku-suku Arab sekeliling Mekah, dan menyampaikan kepada penduduknya bahwa Rasululloh saw. sengaja mengirim mereka itu untuk berda’wah bukan untuk berperang. Dan sebagai pemimpin dari salah satu pasukan Khalid bin Walid.
Ketika Khalid sampai di tempat yang dituju, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkan terpaksa menggunakan senjata dan menumpahkan darah. Sewaktu peristiwa ini sampai kepada Nabi saw., beliau memohon ampun kepada Alloh dengan waktu yang lama, beliau sambil berkata “Ya Alloh, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh Khalid.”
Juga peristiwa tersebut tidak dapat dilupakan oleh Umar, ia pun mengambil perhatian khusus kepada kepribadian Khalid, dan berkata,
“Sesungguhnya pedang Khalid terlalu tajam.”
Dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Khalid ini, Salim maula Abu Hudzaifah ikut serta bersama shahabat-shahabat lainnya. Dan demi melihat tindakan Khalid, Salim menegurnya dengan sengit dan menjelaskan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Sementara Khalid, pahlawan dimasa jahiliyah dan di zaman Islam itu mula-mula diam dan mendengarkan apa yang dikemukakan temannya itu, tapi kemudian dia membela dirinya, dan akhirnya meningkat menjadi perdebatan yang sengit. Tetapi Salim tetap berpegang kepada pendiriannya dan mengemukakan pendapatnya tanpa takut atau bermanis muka.
Ketika itu ia memandang Khalid sebagai seorang bangsawan Mekah, dan ia pun tidak merendah diri karena dahulu ia seorang budak belia, dan Islam telah menyamakan mereka. Begitu pula ia memandang Khalid sebagai serikat dan sekutunya dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya.
Dan ketika Nabi mendengar apa yang telah dilakukan Khalid bin Walid, beliau bertanya,katanya,
“Adakah yang menyanggahnya?”
Alangkah agungnya pertanyaan itu, dan alangkah mengharukan.
Dan amarah Rasululloh saw. menjadi surut ketika ada diantara mereka yang menjawab,
“Ada, Salim menegur dan menyanggahnya!”
Dalam hidupnya Salim selalu mendampingi Rasululloh saw. dan orang-orang yang beriman. Dan dia tidak pernah ketinggalan untuk ikut serta berperang bersama dengan Rasululloh saw., dan tak kehilangan gairah dalam suatu ibadah.
Saat itu berpulanglah Rasululloh saw. ke rahmatulloh. Dan khilafat Abu Bakar r.a. menghadapi persekongkolan jahat dari orang-orang. Dan tibalah saatnya pertempuran Yamamah. Suatu peperangan sengit, yang merupakan ujian terberat bagi umat Islam pada saat itu.
Maka berangkatlah Kaum Muslimin untuk berjuang. Tidak ketinggalan Salim bersama Abu Hudzaifah saudara seagama. Di awal peperangan, Kaum Muslimin tidak bermaksud untuk menyerang, tetapi setiap Mu’min telah merasa bahwa peperangan ini adalah peperangan yang menentukan, sehingga segala akibatnya menjadi tanggung jawab bersama.
Mereka dikumpulkan sekali lagi oleh Khalid bin Walid, yang kembali menyusun barisan dengan cara dan strategi yang mengagumkan. Kedua saudara itu pun menerjunkan diri kedalam kancah yang sedang bergejolak.
Abu Huidzaifah berseru meneriakkan,
“Hai, pengikut-pengikut Al-Qur’an! Hiasilah Al-Qur’an dengan amal-amal kalian!”
Dan bagai angin puyuh, pedangnya berkelibatan dan menghujamkan tusukan-tusukan kepada anak buah Musailamah, sementara Salim berseru pula, katanya,
“Amat buruk nasibku, sebagai pemikul tanggung jawab Al-Qur’an, apabila benteng Kaum Muslimin bobol karena kelalaianku!.”
“Tidak mungkin demikian, wahai Salim, bahkan engkau adalah sebaik-baik pemikul Al-Qur’an.” Ujar Abu Hudzaifah. Pedangnya bagai menari-nari menebas dan menusuk pundak orang-orang murtad, yang bangkit berontak hendak mengembalikan jahiliyah Quraisy dan memadamkan cahaya Islam.
Tiba-tiba salah satu pedang orang-orang murtad itu menebas tangannya hingga putus, tangan yang dipergunakan untuk memanggul panji Muhajirin, setelah gugur pemanggulnya yang pertama, ialah Zaid bin Khattab. Tatkala tangan kanannya itu bunting dan panji itu jatuh segeralah dipungutnya dengan tangan kirinya lalu terus-menerus diacungkannya tinggi-tinggi sambil mengumandangkan ayat Al-Qur’an, yang artinya:
Betapa banyaknya Nabi yang bersamanya ikut bertempur pendukung Agama Alloh yang tidak sedikit jumlahnya. Mereka tidak patah semangat disebabkan cobaan yang menimpa mereka tidak melemah apalagi menyerah kalah, sedang Alloh mengasihi orang-orang yang tabah.”
Sekelompok orang-orang murtad mengepung dan menyerbunya, hingga pahlawan itu pun rubuhlah, tetapi ruhnya belum keluar dari tubuhnya yang suci, sampai pertempuran itu berakhir denagn terbunuhnya Musailamah si Pembohong dan menyerah kalahnya tentara murtad serta menangnya tentara muslim.
Dan ketika Kaum Muslimin mancari-cari korban dan para syuhada’ mereka, mereka menemukan Salim dalam keadaan sekaratul maut. Sempat pula ia bertanya kepada mereka,
“Bagaiman nasib Abu Hudzaifah?”
“Ia telah menemui syahidnya”, ujar mereka.
“Baringkan aku disampingnya”, kata Salim.
“Ini dia disampingmu, wahai Salim, ia telah menemui syahidnya di tempat ini.”
Mendengar jawaban itu tersungginglah senyumnya yang akhir. Dan setelah itu ia tidak berbicara lagi, mereka berdua telah bertemu, dan bersama seperti apa yang mereka berdua inginkan.
Mereka masuk Islam bersama, dan hidup bersama, dan kemudian mati syahid bersama pula.
Persamaan nasib yang amat mengharukan dan suatu takdir yang amat indah.
Maka pegilah mereka menemui Tuhannya, seorang Mu’min meninggalkan nama, mengenai dirinya sewaktu telah tiada lagi, Umar bin Khattab pernah berkata,
“Seandainya Salim masih hidup, pastilah ia menjadi penggantiku nanati.”
Ikhwan dan Akhwat, itulah sederet cerita tentang suatu persaudaraan yang sangatlah indah. Persaudaraan yang dihiasi dengan Islam, rasa kasih saying, dan rasa saling memiliki yang begitu erat. Dan bahkan sampai akhir hayat mereka, mereka tetap saling menyayangi dan kedekatan mereka bagaikan jari tengah dengan jari telunjuk yang tak pernah bias dipisahkan.
Dari kisah ini kita bisa mendapat banyak hikmah yang kita ambil,yaitu sebagai umat Islam kita harus saling menyayangi dan selalu menjaga tali silaturrahim antara mu’min satu dengan yang lainnya.
_Semoga Bermanfaat_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar